1. Mak
Yong
Makyong adalah seni teater tradisional
masyarakat Melayu
yang
sampai sekarang masih digemari dan sering diberbagai cara, Dizaman dulu,
pertunjukan mak yong diadakan orang desa di pematang sawah selesai panen padi.Dramatari
mak yong dipertunjukkan di negara bagian Terengganu, Patani,
Kelantan, dan Kedah.Selain
itu, mak yong juga dipentaskan diKepulauan Riau
Indonesia.
Pertunjukan mak yong dibawakan kelompok penari dan pemusik profesional yang
menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan
vocal atau instrumental, dan naskah yang sederhana.
Tokoh utama pria dan
wanita keduanya dibawakan oleh penari wanita. Tokoh-tokoh lain yang muncul
dalam cerita misalnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang
Pertunjukan mak yong diiringi alatmusik sepertirebab,gendang,
dantetawak .
Istana kerajaan menjadi pelindung seni
tari mak yong sejak paruh kedua abad ke-19
sampai tahun1930-an.
Jika raja mendengar ada penari yang pandai apalagi cantik sedang bermain
di kampung-kampung, raja langsung memerintahkan penari tersebut
untuk menari di dalam lingkungan istana. Penari yang menari di istana akan
ditanggung semua akomodasi serta kebutuhan hidup, dan bahkan menerima pinjaman
tanah sawah milik rajauntuk dikerjakan.
Tahun 1926
hingga
tahun1950-an.
Selain itu, nilai estetika tradisional mak yong mulai luntur akibat
komersialiasi pertunjukan. Lama pertunjukan juga diperpendek dari pukul
8:30 malam hingga pukul 11:00 malam. Selesai pertunjukan mak yong langsung
diteruskan acara jogetbersama.
Penonton naik ke atas panggung untuk menari bersama penari mak yong. Alat
musik untuk mak yong jugadiganti dengan bioladan akordionuntuk
memainkan lagu untuk berjoget. Di pihak kelompok mak yong, nilai moral penari
juga mulai merosot. Tidak jarangterdengar kisah-kisah sumbang yang terjadi
antara kalangan penari dengan penontonselepas pertunjukan. Keluarga penari mak
yong juga menjadi berantakan, perceraianmenyebabkan anak-anak menjadi
terlantar. Penari mak yong malah banyak yang banggadengan jumlah suami yang
dimiliki. Publik mempertanyakan nilai moral di kalangan penari sehingga
citra penari mak yong makin merosot. Keadaan ini membuat citrakesenian mak yong
semakin hancur.Di akhir tahun1960-an,
kelompok tari mak yong sudah tidak bisa dijumpai lagi
Pada masa dahulu permainan ini
dipersembahkan sebaik sahaja selepas orang-orang kampong selesai menuai padi di
bendang. Drama tari Mak Yong ini merupakan sebagai suatu bentuk drama-tari
Melayu yang menggabungkan unsur-unsur ritual,lakonan dan tarian yang digayakan,
muzik vokal dan instrumental, lagu, ceritadan teks percakapan .
Ada dua versi yang berkenaan dengan
seni pertunjukan Mendu. Raja Hamzah Yunus mengatakan bahwa, Mendu kemungkinan besar berasal dari Asia Tenggara,
karena kesamaannya dengan seni pertunjukan yang disebut sebagai Mendura yang
berkembang di Siam, Yunan, Vietnam, dan Kamboja. Kesamaan ini terutama terletak
pada pementasannya yang dilakukan di areal tanah terbuka (tanah lapang).
Sedangkan versi lainnya (B.M. Syamsudin, 1987), mengatakan bahwa Mendu yang berkembang di daerah Bunguran
berasal dari Wayang Parsi yang berkembang di Pulau Penang sekitar tahun
1780-1880. Menurutnya pula, dahulu Mendu hanya dimainkan oleh kaum laki-laki.
Namun, memasuki tahun 70-an, ia tidak hanya milik laki-laki semata, tetapi
perempuan juga ikut ambil bagian dalam pementasan Mendu. Dari kedua versi itu,
tampaknya yang sangat beralasan adalah versi yang pertama, sedangkan versi yang
kedua lebih mendekati asal usul Mak Yong ketimbang Mendu. Lepas dari asal-usul
tersebut, yang jelas Mendu mulai dikenal oleh masyarakat Bunguran Barat sekitar
tahun 1870,
Sebuah kesenian yang tidak jauh berbeda
dengan Mak Yong dan Bangsawan (sama-sama menggabungkan unsur nyanyi, tari dan
pertunjukan ini menyebar ke berbagai tempat di daerah yang disebut sebagai
Pulau Tujuh, yakni: Bunguran Timur (Ranai dan Sepempang), Siantan (Terempa dan
Langi), dan Midai. Bahkan, di Tanjungpinang dewasa ini telah ada group Mendu
yang anggotanya orang-orang yang berasal dari Natuna. Walaupun demikian, jika
orang-orang mendengar istilah Mendu, maka yang terbayang di kepala orang yang
bersangkutan adalah Bunguran-Natuna. Dan, ini dapat dimengerti karena di
sanalah “pusat” kesenian yang disebut sebagai Mendu di Propinsi Kepulauan Riau.
Ada keunikan tersendiri jika
dibandingkan dengan seni pertunjukan lainnya (Mak Yong dan Bangsawan). Keunikan
itu adalah ceritera yang dimainkan tanpa naskah, sehingga para pemainnya harus
hafal benar alur ceriteranya. Dengan kata lain, harus hafal di luar kepala.
Dialog-dialognya disampaikan dengan tarian dan nyanyian yang diiringi dengan
musik yang khas, gabungan dari bunyi gong, gendang, beduk, biola, dan kaleng.
Sementara itu, lagu-lagu yang dinyanyikan adalah: Numu Satu, Lemak Lamun,
Lakau, Catuk, Air Mawar, Jalan Kunon, Ilang Wayat, Perang, Beremas, Ayuhai,
Tale Satu, Pucok Labu, Sengkawang, Nasib, Numu Satu Serawak, Setanggi, Burung
Putih, Wakang Pecah, Mas Merah, Indar dan Tarik Lembu. Sedangkan
tarian-tariannya adalah: Ladun, Jalan Runon, Air Mawar, Lemak Lamun, Lakau, dan
Baremas.
Ceritera yang dimainkan adalah Hikayat
Dewa Mendu yang diangkat dari ceritera rakyat masyarakat Bunguran-Natuna.
Ceritera itu terbagi dalam tujuh episode. Ke-7 episode tersebut adalah sebagai
berikut: Episode pertama, menceriterakan kehidupan di kayangan dan turunnya
Dewa Mendu dan Angkara Dewa ke dunia yang fana. Dalam episode ini juga
diceriterakan bagaimana Dewa Mendu bertemu dengan Siti Mahdewi hingga keduanya
bersepakat untuk membentuk sebuah keluarga (episode ini kadangkala dibagi
menjadi dua, yakni turunya Dewa Mendu dan Angkara Dewa, dan perkawinan Dewa
Mendu dengan Siti Mahdewi). Episode kedua, menceriterakan berpisahnya Dewa Mendu
dengan Siti Mahdewi akibat perbuatan jin jahat yang diutus oleh Maharaja
Laksemalik. Dalam episode ini juga diceriterakan bagaimana Sang Dewa Mendu
mencari isterinya tercinta. Episode ketiga, menceriterakan perjalanan Siti
Mahdewi, kelahiran anaknya yang kemudian diberi nama Kilan Cahaya, dan
perjumpaannya dengan Nenek Kabayan. Episode keempat, mengisahkan tentang
perjalanan Dewa Mendu yang kemudian sampai di sebuah kerajaan yang rajanya
bernama Bahailani. Masih dalam episode ini, diceriterakan juga bahwa Dewa Mendu
akhirnya menikah dengan puteri raja Bahailani. Episode kelima, menceriterakan
perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya bernama Majusi. Dalam
episode ini juga diceriterakan tentang perkawinan Angkara Dewa dengan puteri
Raja Majusi. Episode keenam, menceriterakan perjalanan Dewa Mendu ke sebuah
kerajaan yang rajanya bernama Firmansyah. Konon, raja ini sedang mengalami
masalah karena puterinya dipinang oleh Raja Beruk yang tidak disukainya.
Tokoh-tokoh dalam seni pertunjukan
Mendu, disamping Dewa Mendu itu sendiri adalah: Angkara Dewa, Siti Mahdewi,
Maharaja Laksemalik, Kilan Cahaya, Nenek Kebayan, Raja Bahailani, Raja Majusi,
Raja Firmansyah, Raja Beruk, dan tokoh-tokoh pendukung lainnya yang jenaka
seperti Selamat Salabe dan Tuk Mugok. Kedua tokoh ini diibaratkan sebagai garam
dalam sebuah sayur. Tanpa mereka rasanya hambar. Oleh karena itu, mereka
menjadi bagian yang penting dan sangat disenangi oleh penonton.
3.
Mamanda (Kalimantan)
Beberapa
pemain berpakaian adat banjar. Berdiri di atas panggung yang didekorasi dengan
identitas banjar atau menggambarkan kehidupan kerajaan di jaman dulu. Mereka
berdialog dengan bahasa banjar kadang terdiam sambil bserpikir tentang sebuah
permasalahan yang mereka hadapi dengan lakon-lakon yang bermacam-macam.
Sesekali para penonton tertawa karena melihat lakon atau mendengar apa yang
para pemain lakukan. Mungkin itulah sekilas gambaran permainan di atas panggung
dalam cerita mamanda.
Banyaknya
kesenian yang berkembang di Kalimantan Selatan dari kesenian dari daerah luar
dan modern menjadi tantangan bagi mamanda sebagai teater tradisi local untuk
tetap bertahan disamping pesatnya kemajuan teknologi yang membawa saingan baru
terhadap mamanda seperti bioskop, sinetron televisi, film-film atau media
hiburan lainnya.
Sedikit
banyaknya pengaruh dari kebudayaan luar ikut mempengaruhi. Hal ini bisa menjadi
positif seperti berkembangnya penampilan mamanda yang bisa dipadukan dengan
penataan tempat, panggung, artistic, pencahayaan atau lighting sehingga tidak
selalu lagi dipentaskan dengan keterbatasan persiapan dan tentunya ini menjadi
lebih membantu perkembangannya.
Selain itu juga kemoderenan bisa menjadi
pengaruh yang mengakibatkan kuantitas atau banyaknya penampilan menjadi
menurun. Ini disebabkan banyaknya saingan dari hiburan bagi generasi yang
memecah perhatian terhadap seni budaya khususnya seni budaya lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar