Selasa, 19 November 2013

BeberapaTeater tradisional yang ada di Indonesia



1.  Mak Yong

          Makyong adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih digemari dan sering diberbagai cara, Dizaman dulu, pertunjukan mak yong diadakan orang desa di pematang sawah selesai panen padi.Dramatari mak yong dipertunjukkan di negara bagian Terengganu, Patani, Kelantan,  dan Kedah.Selain itu, mak yong juga dipentaskan diKepulauan Riau Indonesia. Pertunjukan mak yong dibawakan kelompok penari dan pemusik profesional yang menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan vocal atau instrumental, dan naskah yang sederhana.
Tokoh utama pria dan wanita keduanya dibawakan oleh penari wanita. Tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita misalnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang Pertunjukan mak yong diiringi alatmusik sepertirebab,gendang, dantetawak .
Istana kerajaan menjadi pelindung seni tari mak yong sejak paruh kedua abad ke-19  sampai tahun1930-an. Jika raja mendengar ada penari yang pandai apalagi cantik sedang bermain di kampung-kampung, raja langsung memerintahkan penari tersebut untuk menari di dalam lingkungan istana. Penari yang menari di istana akan ditanggung semua akomodasi serta kebutuhan hidup, dan bahkan menerima pinjaman tanah sawah milik rajauntuk dikerjakan.
Tahun 1926 hingga tahun1950-an. Selain itu, nilai estetika tradisional mak yong mulai luntur akibat komersialiasi pertunjukan. Lama pertunjukan juga diperpendek dari pukul 8:30 malam hingga pukul 11:00 malam. Selesai pertunjukan mak yong langsung diteruskan acara  jogetbersama. Penonton naik ke atas  panggung untuk menari bersama penari mak yong. Alat musik untuk mak yong jugadiganti dengan bioladan akordionuntuk memainkan lagu untuk berjoget. Di pihak kelompok mak yong, nilai moral penari juga mulai merosot. Tidak jarangterdengar kisah-kisah sumbang yang terjadi antara kalangan penari dengan penontonselepas pertunjukan. Keluarga penari mak yong juga menjadi berantakan, perceraianmenyebabkan anak-anak menjadi terlantar. Penari mak yong malah banyak yang banggadengan jumlah suami yang dimiliki. Publik mempertanyakan nilai moral di kalangan penari sehingga citra penari mak yong makin merosot. Keadaan ini membuat citrakesenian mak yong semakin hancur.Di akhir tahun1960-an, kelompok tari mak yong sudah tidak bisa dijumpai lagi
 Pada masa dahulu permainan ini dipersembahkan sebaik sahaja selepas orang-orang kampong selesai menuai padi di bendang. Drama tari Mak Yong ini merupakan sebagai suatu bentuk drama-tari Melayu yang menggabungkan unsur-unsur ritual,lakonan dan tarian yang digayakan, muzik vokal dan instrumental, lagu, ceritadan teks percakapan .

2.      Mendu (kepulauan Riau)
Ada dua versi yang berkenaan dengan seni pertunjukan Mendu.  Raja Hamzah Yunus mengatakan bahwa, Mendu kemungkinan besar berasal dari Asia Tenggara, karena kesamaannya dengan seni pertunjukan yang disebut sebagai Mendura yang berkembang di Siam, Yunan, Vietnam, dan Kamboja. Kesamaan ini terutama terletak pada pementasannya yang dilakukan di areal tanah terbuka (tanah lapang). Sedangkan versi lainnya (B.M. Syamsudin, 1987), mengatakan bahwa  Mendu yang berkembang di daerah Bunguran berasal dari Wayang Parsi yang berkembang di Pulau Penang sekitar tahun 1780-1880. Menurutnya pula, dahulu Mendu hanya dimainkan oleh kaum laki-laki. Namun, memasuki tahun 70-an, ia tidak hanya milik laki-laki semata, tetapi perempuan juga ikut ambil bagian dalam pementasan Mendu. Dari kedua versi itu, tampaknya yang sangat beralasan adalah versi yang pertama, sedangkan versi yang kedua lebih mendekati asal usul Mak Yong ketimbang Mendu. Lepas dari asal-usul tersebut, yang jelas Mendu mulai dikenal oleh masyarakat Bunguran Barat sekitar tahun 1870,
Sebuah kesenian yang tidak jauh berbeda dengan Mak Yong dan Bangsawan (sama-sama menggabungkan unsur nyanyi, tari dan pertunjukan ini menyebar ke berbagai tempat di daerah yang disebut sebagai Pulau Tujuh, yakni: Bunguran Timur (Ranai dan Sepempang), Siantan (Terempa dan Langi), dan Midai. Bahkan, di Tanjungpinang dewasa ini telah ada group Mendu yang anggotanya orang-orang yang berasal dari Natuna. Walaupun demikian, jika orang-orang mendengar istilah Mendu, maka yang terbayang di kepala orang yang bersangkutan adalah Bunguran-Natuna. Dan, ini dapat dimengerti karena di sanalah “pusat” kesenian yang disebut sebagai Mendu di Propinsi Kepulauan Riau.

Ada keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan seni pertunjukan lainnya (Mak Yong dan Bangsawan). Keunikan itu adalah ceritera yang dimainkan tanpa naskah, sehingga para pemainnya harus hafal benar alur ceriteranya. Dengan kata lain, harus hafal di luar kepala. Dialog-dialognya disampaikan dengan tarian dan nyanyian yang diiringi dengan musik yang khas, gabungan dari bunyi gong, gendang, beduk, biola, dan kaleng. Sementara itu, lagu-lagu yang dinyanyikan adalah: Numu Satu, Lemak Lamun, Lakau, Catuk, Air Mawar, Jalan Kunon, Ilang Wayat, Perang, Beremas, Ayuhai, Tale Satu, Pucok Labu, Sengkawang, Nasib, Numu Satu Serawak, Setanggi, Burung Putih, Wakang Pecah, Mas Merah, Indar dan Tarik Lembu. Sedangkan tarian-tariannya adalah: Ladun, Jalan Runon, Air Mawar, Lemak Lamun, Lakau, dan Baremas.

Ceritera yang dimainkan adalah Hikayat Dewa Mendu yang diangkat dari ceritera rakyat masyarakat Bunguran-Natuna. Ceritera itu terbagi dalam tujuh episode. Ke-7 episode tersebut adalah sebagai berikut: Episode pertama, menceriterakan kehidupan di kayangan dan turunnya Dewa Mendu dan Angkara Dewa ke dunia yang fana. Dalam episode ini juga diceriterakan bagaimana Dewa Mendu bertemu dengan Siti Mahdewi hingga keduanya bersepakat untuk membentuk sebuah keluarga (episode ini kadangkala dibagi menjadi dua, yakni turunya Dewa Mendu dan Angkara Dewa, dan perkawinan Dewa Mendu dengan Siti Mahdewi). Episode kedua, menceriterakan berpisahnya Dewa Mendu dengan Siti Mahdewi akibat perbuatan jin jahat yang diutus oleh Maharaja Laksemalik. Dalam episode ini juga diceriterakan bagaimana Sang Dewa Mendu mencari isterinya tercinta. Episode ketiga, menceriterakan perjalanan Siti Mahdewi, kelahiran anaknya yang kemudian diberi nama Kilan Cahaya, dan perjumpaannya dengan Nenek Kabayan. Episode keempat, mengisahkan tentang perjalanan Dewa Mendu yang kemudian sampai di sebuah kerajaan yang rajanya bernama Bahailani. Masih dalam episode ini, diceriterakan juga bahwa Dewa Mendu akhirnya menikah dengan puteri raja Bahailani. Episode kelima, menceriterakan perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya bernama Majusi. Dalam episode ini juga diceriterakan tentang perkawinan Angkara Dewa dengan puteri Raja Majusi. Episode keenam, menceriterakan perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya bernama Firmansyah. Konon, raja ini sedang mengalami masalah karena puterinya dipinang oleh Raja Beruk yang tidak disukainya.
Tokoh-tokoh dalam seni pertunjukan Mendu, disamping Dewa Mendu itu sendiri adalah: Angkara Dewa, Siti Mahdewi, Maharaja Laksemalik, Kilan Cahaya, Nenek Kebayan, Raja Bahailani, Raja Majusi, Raja Firmansyah, Raja Beruk, dan tokoh-tokoh pendukung lainnya yang jenaka seperti Selamat Salabe dan Tuk Mugok. Kedua tokoh ini diibaratkan sebagai garam dalam sebuah sayur. Tanpa mereka rasanya hambar. Oleh karena itu, mereka menjadi bagian yang penting dan sangat disenangi oleh penonton.


3.      Mamanda (Kalimantan)

Beberapa pemain berpakaian adat banjar. Berdiri di atas panggung yang didekorasi dengan identitas banjar atau menggambarkan kehidupan kerajaan di jaman dulu. Mereka berdialog dengan bahasa banjar kadang terdiam sambil bserpikir tentang sebuah permasalahan yang mereka hadapi dengan lakon-lakon yang bermacam-macam. Sesekali para penonton tertawa karena melihat lakon atau mendengar apa yang para pemain lakukan. Mungkin itulah sekilas gambaran permainan di atas panggung dalam cerita mamanda.
Banyaknya kesenian yang berkembang di Kalimantan Selatan dari kesenian dari daerah luar dan modern menjadi tantangan bagi mamanda sebagai teater tradisi local untuk tetap bertahan disamping pesatnya kemajuan teknologi yang membawa saingan baru terhadap mamanda seperti bioskop, sinetron televisi, film-film atau media hiburan lainnya.
Sedikit banyaknya pengaruh dari kebudayaan luar ikut mempengaruhi. Hal ini bisa menjadi positif seperti berkembangnya penampilan mamanda yang bisa dipadukan dengan penataan tempat, panggung, artistic, pencahayaan atau lighting sehingga tidak selalu lagi dipentaskan dengan keterbatasan persiapan dan tentunya ini menjadi lebih membantu perkembangannya. 
Selain itu juga kemoderenan bisa menjadi pengaruh yang mengakibatkan kuantitas atau banyaknya penampilan menjadi menurun. Ini disebabkan banyaknya saingan dari hiburan bagi generasi yang memecah perhatian terhadap seni budaya khususnya seni budaya lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar